Sabtu, 18 Februari 2012

Koalisi Kebenaran 11 September


Koalisi Kebenaran 11 September

Dua  tahun setelah serangan teroris atas Pentagon dan Gedung World Trade Centre di New York, yang menewaskan ribuan nyawa tak berdosa, dan sebagai balasan, puluhan ribu nyawa tak berdosa lainnya harus melayang di Afganistan dan Irak, pelaku utamanya masih belum terungkap. Benar bahwa dua hari setelah kejadian, Presiden Bush langsung menunjuk Osama Bin Laden dan organisasinya, Al Qaeda, sebagai "dalang" di belakang serangan mengerikan tersebut, namun sejauh ini belum ada bukti yang mendukung tuduhan tersebut.

Ironisnya, meski belum terbukti, pemerintahan Bush terkesan memaksakan kehendak untuk menyerang Afganistan yang dituduh melindungi Bin Laden. Alasan serupa juga dipakai ketika menyerang Irak, setelah tidak menemukan bukti adanya senjata pembunuh massal di "Negeri 1001 Malam" ini.

Tak heran bahwa banyak pihak bertanya-tanya, atau bahkan dari waktu ke waktu, semakin mencurigai ada sesuatu di balik serangan teroris paling mengerikan dalam sejarah anak manusia tersebut. Rasa curiga bukan hanya ada pada kelompok Muslim fundamentalis, namun juga mulai merambah masyarakat Barat demokratis. Di Jerman misalnya, menurut sebuah polling mingguan bergengsi Die Zeit (20/8/2003) lebih dari dua puluh persen warga Jerman curiga atas kebenaran versi resmi Pemerintah AS tentang serangan 11 September 2001.

Suara skeptis pun bermunculan di AS yang diwakili oleh sebuah kelompok inklusif "9/11 Truth Alliance", Perkumpulan untuk Pengungkapan (Aufklaerung) 11 September 2001 yang merupakan gabungan perorangan atau organisasi yang cukup beragam.

Yang menarik, kelompok inti dari perkumpulan ini adalah orang tua atau keluarga dekat (sebagian) korban yang sama sekali tidak puas dengan informasi dan "penggelapan bukti" (Broeckers) dari peristiwa yang juga disebut sebagai "pembunuhan massal di New York" itu. Selain itu (sebagian) kerabat dan keluarga dekat para korban, kelompok ini juga didukung oleh mantan anggota kongres, jenderal purnawirawan, penulis terkenal, mahaguru dari beberapa universitas dan kelompok perempuan AS.

Seorang kerabat korban, Nicholas Levis, yang keturunan Yahudi(!), mengkritik redaktur acara Panorama di Televisi Jerman, ARD (21/8/2003), yang memutar film dokumenter tentang 11 September yang dianggap bias versi resmi dan tidak melibatkan suara (kerabat) korban. Ia menulis: "(….) Saya, warga AS kelahiran New York yang kerabatnya menjadi korban Tragedi 11 September. Banyak dari sahabat-sahabat saya juga kehilangan sanak keluarganya dalam kejadian mengerikan itu. Kami semua menuntut pengungkapan tuntas hal-hal yang hingga kini masih gelap. Dalam kurun waktu dua tahun, banyak pihak yang mencurigai kebenaran versi resmi. Baiknya, Anda ketahui, bahwa "9/11-Skepticism" bukanlah tipikal Jerman melainkan sebuah fenomena internasional, dan terutama fenomena AS. Semua ini akibat pernyataan resmi yang bolong-bolong. Juga setelah mengamati taktik penghindaran dan intimidasi atas upaya penyelidikan independen yang dilakukan pemerintahan Bush.

Di antara ribuan suara skeptis yang menuntut jawaban atas "Unanswered Questions of 9/11", terdapat penulis terkenal AS, Gore Vidal dan Noam Chomsky; ekonom asal Kanada, Michel Chossudovsky; penulis Inggris, Nafeez Ahmed; dan mantan anggota Kongres AS, Cynthia McKinney; mantan wakil menteri di kabinet Bush Senior, Catherine Austin Fitts; serta profesor di New York University, Mark Crispin Miller. Bahkan, anggota Senat aliran konservatif dan calon Presiden AS dari Partai Demokrat, Bob Graham, yang juga adalah Ketua Pansus Penyelidikan 11 September dari Kongres AS, mengakui bahwa informasi terpenting tentang 11 September belum diungkapkan ke publik. Dari semua anggota kami, mereka yang paling gencar menuntut pengungkapan tuntas kasus ini adalah anggota keluarga para korban 11 September, antara lain Kristen Breitwasser, Mindy Kleinberg, Stephen Push, dan Julie Sweeney. (www.unansweredquestions.org)

BEBERAPA dari "Unanswered Questions of 9/11", memang sangat mengganggu dan menggelitik untuk segera dijawab oleh pemerintahan Bush. Misalnya, mengapa Presiden Bush, meski telah diberitahu adanya pesawat pembajak yang menabrak Gedung WTC dan Pentagon, selama 45 menit berdiam di salah satu sekolah dasar di Florida tanpa melakukan sesuatu? Atau, mengapa Menteri Pertahanan Rumsfeld juga bersikap sama? Meski bila bertindak cepat, terdapat cukup waktu, kenapa Angkatan Udara AS tidak bereaksi sesuai standar untuk menggiring keluar pesawat dari no fly zone? Lalu, kenapa berbagai langkah pelacakan FBI, yang boleh jadi mampu mencegah pembajakan, atas perintah dari "atas" sengaja diblok? Mengapa pula para pejabat yang mencegah penyelidikan oleh FBI tersebut malah memperoleh promosi? Kenapa keluarga korban, seperti empat janda dari New Jersey harus berjuang selama 18 bulan agar pemerintah Bush akhirnya menyetujui komisi penyelidikan yang (hanya sebagian) anggotanya independen?

Pertanyaan yang berkaitan dengan isu internasional dan pelaku serangan juga mengganjal. Misalnya, kenapa hingga saat ini, AS tidak memublikasikan bukti-bukti yang memberatkan Bin Laden? Kenapa pula video yang memuat pengakuan Bin Laden ternyata salah diterjemahkan? Apa pula penjelasan teknis yang mengakibatkan menara WTC yang super kokoh itu bisa ambruk dengan "hanya" diterjang dua pesawat penumpang? Bagaimana caranya 19 teroris lolos dari pengamanan ketat pelabuhan udara?

Dan, bagaimana mungkin para teroris yang bermodalkan pisau pemotong karpet membajak empat pesawat terbang penuh penumpang berikut awaknya? Kenapa para teroris itu meninggalkan barang bukti berkilo-kilo, dan diletakkan dalam sebuah tas perjalanan? Bagaimana pula para pilot yang baru belajar bisa melakukan manuver yang sangat sulit menabrak WTC? Kenapa para anggota Al Qaeda ini memilih dilatih di AS, padahal konon organisasi ini didukung oleh sekelompok negara "Islam", dan kenapa sekolah penerbangan yang melatih mereka mempunyai wewenang untuk memberikan visa? Mungkinkah pesawat terbang yang menabrak WTC diterbangkan tanpa pilot menuju sasaran tertentu? Apakah Al Qaeda sebuah organisasi internasional? Dan, bagaimana mungkin, perencanaan intervensi militer di Afganistan sudah disepakati pada 9/9/2001, padahal "alasan" intervensi baru ditemui dua hari kemudian?

Warga AS yang tergabung dalam "9/11 Truth Alliance" dan kelompok sejenis yang bermunculan belakangan ini, tampaknya sangat prihatin dengan arah kebijakan AS akhir-akhir ini. Sejak tragedi kemanusiaan tersebut, demikian pernyataan yang direlease oleh "9/11 Truth Alliance", (www.911TruthAlliance.Org) warga AS diwarnai oleh semakin meningkatnya kecurigaan antarsesama, dipenuhi kecemasan dan dibeberkan informasi manipulatif. Puncaknya, perang sebagai solusi masalah menjadi semakin ditolerir.

Kelompok yang dari waktu ke waktu semakin memperoleh dukungan luas ini, memfokuskan kegiatannya pada klarifikasi berbagai pertanyaan tak terjawab berkaitan dengan 11 September dan "perang melawan teroris" sebagai akibat langsungnya. Laporan penyelidikan resmi (Juli 2003) dianggap sangat tidak memadai. Karena itu, mereka menuntut transparansi dan pengungkapan total semua fakta. Hasilnya, agar dipresentasikan ke publik AS dan dunia. Dan, berdasarkan fakta-fakta tersebut, barulah ditentukan tindak lanjut, termasuk mengangkatnya sebagai kasus pada mahkamah internasional.

Kelompok, yang anggotanya kini mulai merambah negara-negara di luar AS, ini dengan rendah hati mengakui tidak mengetahui jawaban atas berbagai pertanyaan tak terjawab itu. Namun, dengan jelas diakui bahwa apa yang selama ini menjadi versi resmi dianggap telah menyembunyikan kebenaran.

Pada saat yang sama, Pemerintah AS-dan juga banyak negara di dunia-dinilai telah menjadikan Tragedi 11 September sebagai alasan untuk menjadi semakin represif. Tak jarang sambil melanggar konstitusi negerinya. Dengan mengorbankan demokrasi.

Bagi kita di Indonesia, yang sejak peristiwa berdarah di New York dua tahun lalu, juga harus menanggung beberapa kali aksi teror berat, berkepentingan agar semua kasus bisa diungkapkan secara tuntas. Aufklaerung adalah kata kunci agar tidak ada ganjalan yang boleh jadi ikut memperbesar rasa saling curiga antarsesama warga, atau antara (sebagian) warga dan pemerintah.

Dukungan terhadap gerakan Aufklaerung seperti yang gencar terjadi di beberapa negara demokratis, termasuk di AS, diharapkan ikut mengurangi berbagai "ganjalan" berupa kecurigaan adanya hal yang disembunyikan atau direkayasa dalam membaca versi resmi kasus-kasus peledakan bom besar seperti di Bali dan di Hotel Marriott.

Ivan A Hadar Direktur IDe (Indonesian Institute for Democracy Education), Editor Bahasa Buku (Terjemahan) "Konspirasi, Teori-teori Konspirasi dan Rahasia 11.9"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar